bagai bagian tak terpisahkan.
Pada 23 Agustus
1945, sedikitnya 56 tokoh Aceh berkumpul dan mengucapkan
sumpah. ''Demi Allah, saya akan setia untuk membela
kemerdekaan Republik Indonesia sampai titik darah saya
yang terakhir.'' Kecuali Mohammad Daud Beureueh, seluruh
tokoh dan ulama Aceh mengucapkan janji itu. Pukul 10.00,
Husein Naim dan M Amin Bugeh mengibarkan bendera di gedung
Shu Chokan (kini, kantor gubernur). Tengku Nyak Arief
gubernur di bumi Serambi Mekah.
Tetapi, ternyata tak
semua tokoh Aceh mengucapkan janji setia. Mereka para
hulubalang, prajurit di medan laga. Prajurit yang berjuang
melawan Belanda dan Jepang. Mereka yakin, tanpa RI, mereka
bisa mengelola sendiri negara Aceh. Inilah kisah awal
sebuah gerakan kemerdekaan. Motornya adalah Daud Cumbok.
Markasnya di daerah Bireuen. Tokoh-tokoh ulama menentang
Daud Cumbok. Melalui tokoh dan pejuang Aceh, M. Nur El
Ibrahimy, Daud Cumbok digempur dan kalah. Dalam sejarah,
perang ini dinamakan perang saudara atau Perang Cumbok
yang menewaskan tak kurang 1.500 orang selama setahun
hingga 1946.
Tahun 1948, ketika
pemerintahan RI berpindah ke Yogyakarta dan Syafrudin
Prawiranegara ditunjuk sebagai Presiden Pemerintahan
Darurat RI (PDRI), Aceh minta menjadi propinsi sendiri.
Saat itulah, M. Daud Beureueh ditunjuk sebagai Gubernur
Militer Aceh.
Oleh karena kondisi
negara terus labil dan Belanda merajalela kembali, muncul
gagasan melepaskan diri dari RI. Ide datang dari dr.
Mansur. Wilayahnya tak cuma Aceh. Tetapi, meliputi Aceh,
Nias, Tapanuli, Sumatera Selatan, Lampung, Bengkalis,
Indragiri, Riau, Bengkulu, Jambi, dan Minangkabau. Daud
Beureueh menentang ide ini. Dia pun berkampanye kepada
seluruh rakyat, bahwa Aceh adalah bagian RI. Sebagai tanda
bukti, Beureueh memobilisasi dana rakyat.
Setahun kemudian,
1949, Beureueh berhasil mengumpulkan dana rakyat 500.000
dolar AS. Uang itu disumbangkan utuh buat bangsa
Indonesia. Uang itu diberikan ABRI 250 ribu dolar, 50 ribu
dolar untuk perkantoran pemerintahan negara RI, 100 ribu
dolar untuk pengembalian pemerintahan RI dari Yogyakarta
ke Jakarta, dan 100 ribu dolar diberikan kepada pemerintah
pusat melalui AA Maramis. Aceh juga menyumbang emas
lantakan untuk membeli obligasi pemerintah, membiayai
berdirinya perwakilan RI di India, Singapura dan pembelian
dua pesawat terbang untuk keperluan para pemimpin RI. Saat
itu Soekarno menyebut Aceh adalah modal utama kemerdekaan
RI.
Setahun berlangsung,
kekecewaan tumbuh. Propinsi Aceh dilebur ke Propinsi
Sumatera Utara. Rakyat Aceh marah. Apalagi, janji Soekarno
pada 16 Juni 1948 bahwa Aceh akan diberi hak mengurus
rumah tangganya sendiri sesuai syariat Islam tak juga
dipenuhi.
Intinya, Daud
Beureueh ingin pengakuan hak menjalankan agama di Aceh.
Bukan dilarang. Beureueh tak minta merdeka, cuma minta
kebebasan menjalankan agamanya sesuai syariat Islam. Daud
Beureueh pun menggulirkan ide pembentukan Negara Islam
Indonesia pada April 1953. Ide ini di Jawa Barat telah
diusung Kartosuwiryo pada 1949 melalui Darul Islam. Lima
bulan kemudian, Beureueh menyatakan bergabung dan mengakui
NII Kartosuwiryo.
Dari sinilah lantas
Beureueh melakukan gerilya. Rakyat Aceh, yang notabene
Islam, mendukung sepenuhnya ide NII itu. Tentara NII pun
dibentuk, bernama Tentara Islam Indonesia (TII). Lantas,
terkenallah pemberontakan DI/TII di sejumlah daerah.
Beureueh lari ke hutan. Cuma, ada tragedi di sini. Pada
1955 telah terjadi pembunuhan masal oleh TNI. Sekitar 64
warga Aceh tak berdosa dibariskan di lapangan lalu
ditembaki. Aksi ini mengecewakan tokoh Aceh yang pro-Soekarno.
Melalui berbagai gejolak dan perundingan, pada 1959, Aceh
memperoleh status propinsi daerah istimewa.
Soekarno makin
represif. Setiap ketidakpuasan dihancurkan oleh kekuatan
militer. PRRI/Permesta pun disikat habis. Republik
Persatuan Indonesia (RPI) pun ditumpas. Pemimpinnya
ditangkapi. Tahun 1961, Presiden RPI Syfarudin
Prawiranegara menyerah. Diikuti tokoh DI/TII lainnya,
seperti M Natsir. Tetapi, Daud Beureueh tetap gerilya di
hutan, melawan Soekarno.
Dikhianati
Beureueh merasa
dikhianati Soekarno. Bung Karno tidak mengindahkan
struktur kepemimpinan adat dan tak menghargai peranan
ulama dalam kehidupan bernegara. Padahal, rakyat Aceh itu
sangat besar kepercayaannya kepada ulama. Gerilya
dilakukan. Tetapi, Bung Karno mengerahkan tentaranya ke
Aceh. Tahun 1962, Beureueh dibujuk menantunya El Ibrahimy
agar menuruti Menhankam AH Nasution untuk menyerah.
Beureueh menurut karena ada janji akan dibuatkan UU
Syariat Islam bagi rakyat Aceh (baru terwujud tahun 2001).
GAM lahir di era
Soeharto. Saat itu, sedang terjadi industrialisasi di Aceh.
Soeharto benar-benar mencampakkan adat dan segala
penghormatan rakyat Aceh. Efek judi melahirkan prostitusi,
mabuk-mabukan, bar, dan segala macam yang bertentangan
dengan Islam dan adat rakyat Aceh. Kekayaan alam Aceh
dikuras melalui pembangunan industri yang dikuasai orang
asing melalui restu pusat. Sementara rakyat Aceh tetap
miskin. Pendidikan rendah, kondisi ekonomi sangat
memprihatinkan.
Melihat hal ini,
Daud Beureueh dan tokoh tua Aceh yang sudah tenang
kemudian bergerilya kembali untuk mengembalikan kehormatan
rakyat, adat Aceh dan agama Islam. Pertemuan digagas tahun
1970-an. Mereka sepakat meneruskan pembentukan Republik
Islam Aceh, yakni sebuah negeri yang mulia dan penuh
ampunan Tuhan. Kini mereka sadar, tujuan itu tak bisa
tercapai tanpa senjata.
Lalu diutuslah
Zainal Abidin menemui Hasan Tiro yang sedang belajar di
Amerika. Pertemuan terjadi tahun 1972 dan disepakati Tiro
akan mengirim senjata ke Aceh. Zainal tak lain adalah
kakak Tiro. Sayang, senjata tak juga dikirim hingga
Beureueh meninggal. Hasan Asleh, Jamil Amin, Zainal Abidin,
Hasan Tiro, Ilyas Leubee, dan masih banyak lagi berkumpul
di kaki Gunung Halimun, Pidie. Di sana, pada 24 Mei 1977,
para tokoh eks DI/TII dan tokoh muda Aceh mendirikan GAM.
Selama empat hari
bersidang, Daud Beureueh ditunjuk sebagai pemimpin
tertinggi. Sementara Hasan Tiro yang tak hadir dalam
pendirian GAM itu ditunjuk sebagai wali negara. GAM
terdiri atas 15 menteri, empat pejabat setingkat menteri
dan enam gubernur. Mereka pun bergerilya memuliakan rakyat
Aceh, adat, dan agamanya yang diinjak-injak Soeharto.
* Heru B. Arifin